Dr. Amir Faishol Fath, MA
Dua hal yang harus dipenuhi dalam usaha apapun untuk mencapai tujuan
yang diinginkan adalah kejujuran dan profesionalisme (keahlian dalam
menjalankan tugas). Ibarat sayap keduanya merupakan satu kesatuan,
saling mendukung tak terpisahkan. Bila satu hilang, perjalanan usaha
akan timpang dan akan menyebabkan kecelakaan pada pihak- pihak terkait.
Berbagai perusahaan atau instansi bahkan negara mengalami krisis, karena
hilangnya salah satu dari kedua unsur utama tersebut. Kejujuran bagi
profesionalisme ibarat ruh bagi jasad. Profesionelisme akan tampil loyo,
tak bertenaga bila terus digerogoti dengan tindak kebohongan para
pelakuknya. Begitu juga kejujuran tidak akan tampil secara maksimal
dengan hasil yang diharapkan tanpa dukungan profesionalisme.
Allah SWT. menegakkan alam ini dengan sangat sempurna, tidak ada
sedikitpun tanda bahwa Allah main-main, tergambar didalamnya nilai-nilai
kejujuran dan profesionalisme. Allah berfirman: “Yang telah menciptakan
tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak akan melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang atau
cacat? Kemudian ulangi pandanganmu sekali lagi niscaya penglihatanmu
akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat” (QS.
67:3-4).
Tidak hanya itu, Allah SWT. membekali setiap Nabi dengan kejujuran
dan profesionalisme. Rasulullah SAW. sebelum menjadi Nabi sangat dikenal
di kalangan penduduk Makkah sebagai orang yang paling jujur dan
terpercaya al amin. Khadijah binti Khuwailid seorang janda kaya
dan terhormat tertarik kepada Rasulullah SAW karena kejujuran dan
profesionalismenya yang nampak ketika membawa dagangannya ke negeri
Syam. Keuntungan berlipat ganda diperoleh berkat kedua sifat yang
dimiliki Rasulullah SAW.
Pernah suatu saat orang Quraish Makkah berstegang leher sampai
ketingkat kemungkinan terjadinya pertumpahan darah, dalam hal siapa yang
peling berhak mengembalikan batu hitam al hajarul aswad
ketempatnya semula, setelah Ka’bah direhab. Masing-masing suku merasa
paling berhak. Akhirnya sampailah pada kesepakatan bahwa yang masuk
pertama kali ke masjidil haram dialah yang berhak melakukan pengembalian al hajarul aswad. Ketika yang masuk pertama kali ternyata Rasulullah SAW. mereka sangat gembira. Dari mulut mereka trucap al amin radhiina
(orang yang terpercaya, kami rela dan setuju). Menariknya bahwa
Rasulullah SAW. melaksanakan tugas tersebut bukan sekedar karena
dipercaya, melainkan ia juga tampil secara profesional, surbannya
dihampar dan diisi dengan al hajarul aswad lalu minta kepada
masing-masing kepala suku untuk mengangkatnya bersama-sama, dengan
langkah ini semua suku puas dan merasa terpenuhi apa yang mereka
perebutkan.
Nabi Yusuf as. ketika meminta agar ditempatkan sebagai penaggung
jawab keuangan dan kekeyaan negara, bukan karena ia tamak untuk memenuhi
kepentingan pribadi, melainkan karena ia menyadari akan kejujuran dan
ruh profesionalisme yang dimilikinya. Nabi Yusuf berkata: “Jadikanlah
aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga, lagi berpengetahuan” (QS. 12:55). Dari ayat ini dan ayat
sebelumnya (QS. 12:46) Yusuf sebagai ash shiddiq (sangat dipercaya) dan (QS. 12:54) makinun amiin
(tinggi kedudukan dan dipercaya), nampak bahwa telah tergabung dalam
diri Yusuf sifat kejujuran dan profisionalisme. Suatu indikasi bahwa
Yusuf yakin dengan kedua sifat ini bisa menegakkan ekonomi negerinya
secara seimbang. Tidak ada yang dizdalimi. Semuanya akan meresakan
sejahtera baik di masa subur maupun di masa peceklik. Dari sini jelas
bahwa dalam mengatasi krisis apapun dan pada level apapun, tidak ada
jalan keculai dengan menegakkan kejujuran dan profesionalisme. Wallahu a’lam bissh shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar